Menteri Pertahanan Rusia: Tidak Mungkin Perang Dengan Ukraina
Topikid - Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu,
mengesampingkan konflik militer langsung dengan Ukraina. Menurutnya kebuntuan
bersenjata dengan Ukraian sesuatu yang tidak mungkin.
Meski begitu, Shoigu mengingatkan, pelanggaran atas
perjanjian Minsk oleh Kiev dapat memperburuk krisis dan mengarah pada genosida
etnis Rusia di Donbass.
"Saya menganggap tidak mungkin terjadi
bentrokan langsung antara Rusia dan Ukraina," Shoigu menyatakan dalam
wawancaranya dengan outlet berita Italia, Il Giornale.
Pejabat Rusia itu menekankan bahwa rezim Kiev harus
tanpa syarat menaati perjanjian Minsk karena ini adalah kondisi utama untuk
mencegah genosida penduduk etnis Rusia di bagian tenggara Ukraina.
"Sayangnya, pihak berwenang Kiev sangat gigih
dalam upaya mereka untuk menolak pemenuhan perjanjian ini, menemukan berbagai
alasan yang diciptakan dan membuat tuduhan tak berdasar yang dialamatkan kepada
Rusia," ujarnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (12/7/2018).
Shoigu juga mencatat bahwa rezim Kiev benar-benar
menolak satu kondisi yang sangat penting dari permukiman yaitu kemungkinan
dialog dengan republik-republik Donbass yang memproklamirkan diri.
"Tentu saja, negara kita bereaksi terhadap
situasi yang ada dengan terus-menerus meminta Kiev untuk menaati kompleksnya
tindakan yang dijelaskan dalam perjanjian Minsk," katanya.
Menteri Rusia itu juga menyatakan harapan bahwa
penjamin lain dari perjanjian Minsk, seperti Jerman dan Prancis akan menggunakan
pengaruh mereka pada pihak berwenang Ukraina untuk mendesak penyelesaian
konflik secara damai.
Dalam wawancara yang sama menteri pertahanan Rusia
itu mengatakan bahwa negara-negara Barat, dan terutama Amerika Serikat (AS),
telah merencanakan untuk mengacaukan situasi di Crimea menggunakan metode
“perang hibrida” yang serupa dengan yang digunakan di Irak, Yugoslavia, Libya
dan Suriah.
“Kami tidak mengizinkan kolega kami menyeberangi
lautan untuk melaksanakan rencana ini di Crimea. Sebaliknya, ada referendum di
sana dan di dalamnya penduduk semenanjung bebas memutuskan untuk memisahkan
diri dari Ukraina dan bersatu kembali dengan Rusia, seperti yang disaksikan
oleh ratusan perwakilan media massa AS,” beber Shoigu kepada wartawan.
"Kita bisa melihat semua tanda-tanda perang
hibrida ini di Ukraina sendiri, tepat sebelum kudeta bersenjata yang
berlangsung pada Februari 2014. Perlu dicatat bahwa negara-negara Eropa juga
secara pasif berpartisipasi dalam aksi hibrida ini," tambahnya.
Shoigu melanjutkan untuk mendefinisikan "aksi
hibrida" sebagai kontrol atas media massa, sanksi ekonomi, kegiatan di
internet dan juga dukungan langsung untuk berbagai kerusuhan internal di
negara-negara berdaulat serta sabotase dan serangan teroris yang dilakukan oleh
pasukan khusus asing.
Republik Crimea bersatu kembali dengan Federasi
Rusia pada musim semi 2014 setelah lebih dari 96 persen penduduknya, mayoritas
di antaranya adalah etnis Rusia, menyetujui langkah itu dalam referendum yang
mendesak. Keputusan itu didorong oleh pengusiran presiden Ukraina yang terpilih
secara demokratis dalam kudeta dengan kekerasan di Kiev dan pelantikan
pemerintah yang didukung nasionalis yang hampir segera menyatakan perang
terhadap wilayah pro-Rusia di tenggara negara itu, yang menolak mengakui rezim
yang baru saja dipaksakan.
Pada bulan Februari 2015, republik Donbass dan
rezim Kiev memasuki apa yang disebut kesepakatan damai Minsk II atau
Kesepakatan Minsk yang mempertimbangkan gencatan senjata, penarikan senjata
berat dan pertukaran tahanan dengan penyelesaian politik berikutnya. Penurunan
kekerasan telah tercapai tetapi persetujuan masih belum sepenuhnya
dilaksanakan.
Komentar
Posting Komentar